BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang
komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi.
Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja
kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan
perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan
Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer
perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum
merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa
besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah
direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.
Pada prinsipnya pengembangan kurikulum berkisar pada
pengembangan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi yang perlu diimbangi
perkembangan pendidikan. Manusia, disisi lain sering kali memiliki keterbatasan
kemampuan untuk menerima, menyampaikan dan mengolah informasi, karenanya
diperlukan proses pengembangan kurikulum yang akurat dan terseleksi dan
memiliki tingkat relevansi yang kuat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kurikulum dan landasan pengembangan
kurikulum.
2.
Apa komponen dan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum.
3.
Bagaimana model-model pengembangan kurikulum.
4.
Bagaimana guru dan pengembangan kurikulum.
C. Tujuan Tenulisan
1. Untuk
mengetahui pengetian kurikulum dan pengembangan kurikulum.
2. Untuk
mengetahui komponen dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum.
3. Untuk
mengetahui model-model pengembangan kurikulum.
4. Untuk
mengetahui peranan guru dan pengembangan kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KURIKULUM DAN LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
1. Pengertian Kurikulum
Kata “Kurikulum” berasal dari satu kata bahasa latin
yang berarti “jalur pacu”, dan secara tradisional, kurikulum sekolah disajikan
seperti itu (ibarat jalan) bagi kebanyakan orang (Zais,1976:6). Lebih lanjut
Zais (1976) mengemukakan berbagai pengertian kurikulum, yakni:
a. Kurikulum
sebagai program pelajaran.
b. Kurikulum
sebagai isi pelajaran.
c. Kurikulum
sebagai pengalaman belajar yang direncanakan
d. Kurikulum
sebagai pengalaman di bawah tanggung jawab sekolah.
e. Kurikulum
sebagai suatu rencana (tertulis untuk
dilaksanakan).
Sedangkan Tanner dan Tanner (1980) menggunakan
konsep-konsep:
a. Kurikulum
sebagai pengetahuan yang diorganisasikan.
b. Kurikulum
sebagai modus mengajar.
c. Kurikulum
sebagai arena pengalaman
d. Kurikulum
sebagai pengalaman
e. Kurikulum
sebagai pengalaman belajar terbimbing.
f.
Kurikulum sebagai kehidupan terbimbing
g. Kurikulum
sebagai suatu rencana pembelajaran.
h. Kurikulum
sebagai sistem produksi secara teknologis.
i.
Kurikulum sebagai tujuan.
Untuk memudahkan dan menyederhanakan pembahasan,
berikut merupakan penyimpulan dari konsep-konsep kurikulum, yang terdiri dari:
a. Kurikulum sebagai Jalan Meraih Ijazah
Seperti kita ketahui bersama,
kurikulum merupakan syarat mutlak dalam pendidikan formal. Boleh dikata, tidak
ada pendidikan formal tanpa ada kurikulum. Pada pendidikan formal terdapat
jenjang-jenjang pendidikan yang selalu berakhir dengan ijazah atau Surat Tanda
Tamat Belajar (STTB). Seseorang yang telah menyelesaikan satu jenjang
pendidikan, dalam kenyataannya telah menyelesaikan satu jalur pacuan yang
terdiri dari berbagai mata pelajaran atau bidang studi beserta isi pelajarannya
dan berakhir pada ijazah. Para pendidik profesional juga memandang “...
curriculum as the relatively standardized ground covered by students in their
race toward the finish line (a diploma” (Zais,1976:6). Berdasarkan
uraian-uraian sebelumnya kiranya dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan
jalan yang berisi sejumlah mata pelajaran atau bidang studi dan isi pelajaran
yang harus dilalui untuk meraih ijazah.
b. Kurikulum sebagai Mata dan Isi Pelajaran.
Kurikulum sebagai jalan meraih
ijazah mengisyaratkan adanya sejumlah mata pelajaran atau bidang studi dan isi
pelajaran harus diselesaikan oleh siswa. Selain itu, jika ada orang yang
bertanya: apa kurikulumnya?, seringkali dijawab bahwa kurikulumnya adalah PMP,
Bahasa Indonesia, dan yang lain. Jawaban bahwa kurikulum terdiri dari berbagai
mata pelajaran sudah sejak lama ada, bahkan sampai sekarang masih sering
terbaca atau terdengar. Schubert (1986) mengemukakan bahwa penyebutan kurikulum
dengan mata pelajaran (Sumantri, 1988:2). Lebih jauh orang juga sering menyebut
bahwa isi dari pelajaran tertentu dalam program berbagai kurikulum (Zais,
1976:7). Dengan demikian, tidaklah mengejutkan apabila ada orang yang
mengemukakan kurikulum sebagai mata da isi pelajara.
c. Kurikulum sebagai Rencana Kegiatan Pembelajaran.
Winecoff(1988:1) mengemukakan: “The
curriculum is generally defined as a plan developed to faciliate the teaching/
learning process under the direction and guidance of a school, college or
university and its staff members”. Definisi kurikulum seperti dikemukakan oleh
Winecoff (1988) tersebut, secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa kurikulum
didefinisikan sebagai satu rencana yang dikembangkan untuk mendukung proses
mengajar dan belajar di dalam arahan dan bimbingan sekolah, akademi atau
universitas, dan para anggota staffnya. Alexander dan Saylor (1974 dalam Bondi
dan Wiles,1989:7) mengungkapkan pula bahwa kurikulum sebagai rancangan untuk
menyediakan seperangkat kesempatan belajar agar mencapai tujuan. Kurikulum
sebagai rencana kegiatan pembelajaran sudah selayaknya mencakup
komponen-komponen kegiatan pembelajaran, namu demikian komponen-komponen
kegiatan pembelajaran yang dirancang dalam kurikulum masih bersifat umum dan
luwes untuk dikaji lebih lanjut oleh guru.
d. Kurikulum sebagai Hasil Belajar.
Popham dan Baker mendefinisikan
kurikulum sebagai “all planned learning outcomer for which the school
responsible” (Tanner & Tanner, 1980:24). Secara jelas diutarakan oleh
Popham dan Baker bahwa semua rencana hasil belajar (learning outcomes) yang merupakan
tanggung jawab sekolah adalah kurikulum. Adanya definisi mengubah pandangan
penanggung jawab sekolah dari kurikulum sebagai alat menjadi kurikulum sebagai
tujuan. Bahkan Tanner dan Tanner (1980:43) memandang kurikulum sebagai
rekonstruksi pengetahuan dan pengalaman, yang secara sistematis dikembangkan
dengan bantuan sekolah (atau universitas), agar memungkinkan siswa menambah
penguasaan pengetahuan dan pengalamannya. Dengan demikian, kurikulum sebagai
hasil belajar merupakan serangkaian hasil belajar yang diharapkan. Namu
demikian bukan berarti kurikulum tidak diorganisasikan secara sistematis unuk
mewujudkan hasil-hasil belajar yang diharapkan.
e. Kurikulum sebagai Pengalam Belajar.
Dari empat konsep kurikulum yang
diuraikan sebelumnya, dapatkah kita menandai bahwa setiap orang yang terlibat
dalam pengimplementasian kurikulum tersebut akan memperoleh pengalaman belajar.
Foshay mengamati bahwa sejak sebelum tahun 1930-an istilah kurikulum
didefinisikan sebagai “semua pengalaman siswa yang diberikan dibawah bimbingan
sekolah” (Tanner dan Tanner,1980:14). Sedangkan Krug (1956 dalam Zais 1976:8)
menunjukkan kurikulum sebagai “all the means employed by the school provide
students with opportunities for desirable learning experiences”. Jelas definisi
Krug ini menunjukkan kepada kita bahwa semua yang bermaksud dipakai oleh
sekolah untuk menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman belajar yang diperlukan sekali adalah kurikulum.
Berdasarkan definisi kurikulum sebagai pengalaman belajar perlu dimengerti
bahwa pengalaman belajar tersebut dapat diperoleh baik di dalam sekolah maupun
di luar sekolah sepanjang direncanakan atau dibimbing oleh pihak sekolah.
Dengan demikian kurikulum sebagai pengalaman belajar mencakup pula tugas-tugas
belajar yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan siswa di rumah.
Diatas terdapat lima konsep tentang kurikulum,
tergantung dari guru mau memilih salah satu atau lebih komsep kurikulum yang
dijadikan acuannya. Dalam UU
Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 pasal 1 (9) menyebutkan bahwa: “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar”
(Depdikbud, 1989:3), sedangkan dalam pasal 37 menyebutkan: “ Kurikulum disusun
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap
perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta kesenian,
sesuai dengan jenis-jenis dan jenjang-jenjang masing-masing satuan pendidikan”
(Depdikbud, 1989:15). Rumusan penjabaran kurikulum seperti termaktub dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional, bila dikaji merupakan konsep kurikulum yang cukup
lengkap dan menyeluruh. Dalam rumusan tersebut tampak dengan jelas bahwa
kurikulum perlu dan harus dikembangkan.
2. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan wahana belajar-mengajar yang
dinamis sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terus menerus dan berkelanjutan
sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat (Depdikbud,1986:1). Adapun
yang dimaksud dengan pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan
bagaiamana pembuatan kurikulum akan berjalan. Hal tersebut meliputi
pertanyaan-pertanyaan berikut: Siapa yang akan dilibatkan dalam pembuatan
kurikulum-guru, administrator, orang tua, siswa? Apa prosedur yang akan
digunakan dalam pembuatan kurikulum-petunjuk admistratif, komisi fakultas(staf
pengajar), konsultasi universitas? Jika komisi yang digunakan, bagaimana mereka
akan diatur? (Zais, 1976: 17). Sedangkan Bondi dan Wiles (1989:87) mengemukakan
bahwa pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak
hal yakni: (1)kemudahan-kemudahan suatu analisis tujuan, (2)rancangan suatu
program, (3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan (4)
peralatan dalam evaluasi proses ini. Secara singkat, pengembangan kurikulum
adalah suatu perbuatan kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan (Taba,
1962:6).
Agar pengembangan kurikulum dapat berhasil sesuai
dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan
landasan-landasan pengembangan kurikulu. Seperti yang dicantumkan dalam
Kurikulum SD: Landasan Program dan Pengembangan dikemukakan bahwa dalam pengembangannya,
kurikulum mengacu pada tiga unsur yaitu: (1) Nilai dasar yang merupakan
falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya; (2) Fakta empirik yang tercermin
dari pelaksanaan kurikulum baik berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun
survei lainnya; dan (3) Landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan
kerangka penyorotan (Depdikbud,1986:1). Hal yang dikemukakan dalam landasan
program dan pengembangan kurikulum merupakan contoh adanya landasan-landasan
pengembangan kurikulum, yang acapkali disebut dengan determinan (faktor-faktor
penentu pengembangan kurikulum.
1. Landasan Filosofis.
Pendidikan ada dan berada dalam
kehidupan masyarakat, sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk
dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan (dalam arti seluas-luasnya)
(Raka Joni,1983:6). Segala kehendak yang dimiliki oleh masyarakat merupakan
sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan
dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam
pendidikan, atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam masyarakat
merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan. Filsafat boleh jadi
didefinisikan sebagai suatu studi tentang: hakikat realitas, hakikat ilmu
pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan,
dan hakikat pikiran (Winecoff, 1988:13). Oleh karena itu, landasan filosofis
pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas, ilmu pengetahuan, sistem nilai,
nilai kebaikan, keindahan, dan hakikat pikiran yang ada dalam masyarakat.
Secara logis dan realistis landasan filosofis pengembangan kurikulum dari stau
sistem pendidikan berbeda dengan lembaga yang lain. Perbedaan tersebut sangat
terasa dalam masyarakat yang majemuk. Untuk landasan filosofis pengembangan
kurikulum di Indonesia secara cepat dan tepat kita pastikan, yakni dasar
merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya yakni pancasila.
2. Landasan Sosial-Budaya-Agama.
Realita sosial-budaya-agama yang ada
dalam masyarakat merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan
sebagai landasan pengembangan kurikulum. Masyarakat adalah suatu kelompok
individu-individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam
kelompok-kelompok berbeda (Zais, 1976:157; raka Joni, 1983:5). Masyarakat
sebagai kelompok individu-individu mempunyai pengaruh terhadap
individu-individu dan sebaliknya individu-individu itu pada taraf-taraf
tertentu juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat (Raka Joni,1983:5).
Kebersamaan individu-individu dalam masyarakat diikat dan terikat oleh
nilai-nilai yang menjadi pegangan hidup dalam interaksi di antara mereka.
Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan dihormati oleh individu-individu dalam
masyarakat tersebut, mencakup nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai
keagamaan berhubungan dengan kepercayaan, maka pada umumnya bersifat langgeng
sampai masyarakat pemeluknya melepaskan kepercayannya (Raka Joni, 1983:5).
Nilai sosial-budaya masyarakat bersumber pada hasil karya akal budi manusia,
sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan dan/atau melepaskannya
manusia menggunakan akalnya. Dengan demikian, apabila terdapat nilai-nilai
sosial budaya yang tidak berterima atau tidak bersesuaian dengan akalnya akan
dilepaskan. Oleh karena itu, nilai-nilai sosial budaya lebih bersifat sementara
bila dibanding dengan nilai-nilai keagamaan. Untuk melaksanakan penerimaan,
penyebarluasan, pelestarian atau penolakan dan pelepasan nilai-nilai
sosial-budaya-agama, maka masyarakat memanfaatkan pendidikan yang dirancang
melalui kurikulum. Jelaskah kiranya bagi kita, mengapa salah satu landasan
pengembangan kurikulum adalah nilai-nilai sosial-budaya-agama.
3. Landasan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni.
Pendidikan merupakan usaha penyiapan
subjek didik (siswa) menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang
semakin pesat (Raka Joni, 1983:25). Perubahan masyarakat mencakup nilai yang
disepakati oleh masyarakat tersebut. Sedangkan masyarakat mencakup nilai yang
disepakati oleh masyarakat dapat pula disebut sebagai kebudayaan. Oleh karena
itu kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas
tinggi (Zais, 1976:157). Namun demikian, menurut Daoed Joesoef (1982 dalam Raka
Joni, 1983:40) bahwa sumber ratusan ribu nilai yang ada dalam masyarakat untuk
dikembangkan melalui proses pendidikan ada tiga yaitu: pikiran (logika),
perasaan (estetika), dan kemauan (etika). Ilmu pengetahuan teknologi adalah
nilai-nilai yang bersumber pada pikiran atau logika, sedangkan seni bersumber
pada perasaan atau estetika. Mengingat pendidikan merupakan upaya penyiapan
siswa menghadapi perubahan yang semakin pesat, temasuk di dalamnya perubahan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, maka pengembangan kurikulum sekolah
haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). Nana Sy.
Sukmadinata (1988:82) mengemukakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara langsung akan menjadi isi materi pendidikan. Sedangkan secara
tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat
dengan kemampuan pemecahan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni (IPTEKS) juga dimanfaatkan untuk memecahkan maslah
pendidikan
4. Landasan Kebutuhan Masyarakat.
Adanya falsafah hidup perubahan
sosial budaya agama, dan perubahan IPTEKS dalam suatu masyarakat akan merubah
pula kebutuhan masyarakat. Selain itu, kebutuhan masyarakat juga dipengaruhi
kondisi di masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Raka Joni
(1988:7) bahwa masyarakat modern dan masyarakat tradisional berbeda, juga
masyarakat kota berbeda dengan masyarakat pedesaan. Adanya perbedaan antara
masyarakat satu dengan masyarakat yang lain sebagian besar disebabkan oleh
kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di sisi
lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap
individu-individu anggota masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum
yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis. Pengembangan kurikulum
juga harus ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup keterkaitannya
dengan lingkungan sosial setempat. (Sumatri, 1988:77). Dari uraian-uraian
sebelumnya, jelaslah bahwa salah satu landasan pengembangan kurikulum adalah
kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.
5. Landasan Perkembangan Masyarakat.
Salah satu ciri dari masyarakat
adalah selalu berkembang. Mungkin pada masyarakat tertentu perkembangan sangat
lambat, tetapi masyarakat lainnya cepat bahkan sangat cepat (Nana Sy.
Sukmadinata, 1988:66). Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup,
nilai-nilai, IPTEKS, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. IPTEKS mendukung
perkembangan masyarakat, dan kebutuhan masyarakat akan membantu menetapkan
perkembangan yang dilaksanakan. Perkembangan masyarakat akan menuntut
tersedianya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka
diperlukan rancangannya berupa kurikulum yang landasan pengembangannya berupa
perkembangan masyarakat itu sendiri.
B. KOMPONEN DAN PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM
1. Komponen
Kurikulum
Sebelum melaksanakan kegiatan pengembangan kurikulum,
seorang pengembang lebih dahulu mengenal komponen atau elemen atas unsur
kurikulum. Seperti yang dikemukakan Tyler(1950 dalam Taba, 1962:422) bahwa “it
is important as a part of a comprehensive theory or organization to indicate
just what kinds of elements will serve satisfactorily as organizing elements.
And in a given curriculum it is important to identify the particular elements
that shall be used”. Dari pernyataan Tyler tersebut, tampak pentingnya mengenal
komponen atau elemen atau unsur kurikulum. Herrick (1950 dalam Taba, 1962:425)
mengemukakan 4 (empat) elemen, yakni: tujuan(objectives), mata pelajaran
(subject matter), metode dan organisasi (method and organization), dan evaluasi(evaluation).
Sedangkan ahli yang lain mengemukakan bahwa kurikulum terdiri dari empat
komponen dasar: (1) aims, goals, and objective, (2) content, (3) learning
activities and (4) evaluation (Zais, 1976:295). Nana Sy. Sukmadinata (1988:110)
mengemukakan empat komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah
tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian, evaluasi. Berdasarkan
uraian tentang komponen-komponen kurikulum sebelumnya, dalam uraian berikut ini
akan dibahas mengenai komponen-komponen kurikulum sebelumnya, kurikulum yang
terdiri dari: tujuan, materi/ pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi.
a. Tujuan
Tujuan sebagai sebuah komponen
kurikulum merupakan kekuatan-kekuatan fundamental yang peka sekali, karena
hasil kurikuler yang diinginkan tidak hanya sangat mempengaruhi bentuk
kurikulum, tetapi memberikan arah dan fokus untuk seluruh program pendidikan
(Zais, 1976:297). Apa yang diutarakan oleh Zais mengenai pentingnya tujuan
adalah benar adanya, karena tidak ada satupun aspek-aspek pendidikan selalau
mempertanyakan tentang tujuan. Lebih lanjut Zais( 1976:307) mengklasifikasikan
tujuan menjadi tiga yaitu aims, goals, dan objectives, yang ketiganya merupakan
suatu hierarki vertikal. Adanya klasifikasi tujuan kurikulum seperti yang diutarakan
oleh Zais juga tersurat dalam tujuan kurikulum di Indonesia. Hierarki vertikal
tujuan kurikulum di Indonesia, paling tinggi adalah tujuan pendidikan nasioanl,
kemudian tujuan kelembagaan, diikuti tujuan kurikuler, dan tujuan pengajaran.
Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan kurikulum tertinggi yang bersumber pada falsafah bangsa
(Pancasila) dan kebutuhan masyarakat. Tujuan kurikuler atau tujuan mata
pelajaran/ bidang studi dijabarkan dari tujuan kelembagaan, bersumber pada
karakteristik mata pelajaran/bidang studi, karakteristik lembaga, dan kebutuhan
masyarakat. Tujuan yang terbawa dari hierarki tujuan kurikulum di Indonesia
adalah tujuan pengajaran, yakni suatu tujuan yang menjabarkan tujuan kurikuler
dan bersumber pada karakteristik mata pelajaran/bidang studi dan karakteristik
siswa.
Tujuan pengajaran terbagi menjadi
dua macam, yakni tujuan umum pengajaran (TUP) dan tujuan khusus pengajaran
(TKP). Apabila dikaji lebih lanjut akan kita temukan bahwa dalam perumusannya,
tujuan tersusun hierarki vertikal dari yang tertinggi ke yang terendah dan
sebaliknya untuk pencapaiannya secara hierarki vertikal dari tujuan terendah ke
tujuan yang lebih tinggi. Untuk memperjelas uraian, berikut merupakan
sistematika hierarki tujuan kurikulum di Indonesia.
Jenjang Tujuan
|
Dokumen
|
Penanggung Jawab
|
Tujuan Pendidikan
|
UU SPN&GBHN
|
Menteri Dikbud
|
Tujuan Kelembagaan
|
Kurikulum Tiap Lembaga
|
Kepala Sekolah
|
Tujuan Kurikuler
|
GBPP
|
Guru mata pelajaran/ bidang studi/kelas
|
Tujuan Pengajaran
|
GBPP & Rancangan Pembelajaran
|
Guru mata pelajaran/ bidang studi/kelas
|
Tabel
Sistematika Hierarki Tujuan Kurikulum di Indonesia
Hierarki tujuan kurikulum secara
vertikal di Indonesia seperti terurai sebelumnya, tersurat sampai dengan
Kurikulum Yang Disempurnakan (KYD) SD/SLTP/SLTA tahun 1984/1985 atau 1985/1986.
Hierarki tujuan kurikulum secara vertikal tersebut dapat saja berkembang atau
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan zaman.
Pengembangan hierarki kurikulum
secara vertikal di Indonesia tertampak dalam draft kurikulum tahun 1994/1995.
Hierarki tujuan kurikulum vertikal yang tersurat dalam draft kurikulum
1994/1995 tersebut diawali dari Tujuan Pendidikan Nasional, kemudian Tujuan
Kelembagaan, Tujuan Kurikuler, Tujuan Bidang Studi, Tujuan Kelas, dan Tujuan
Catur Wulan serta Tujuan Pengajaran. Secara garis besar hierarki tujuan
kurikulum dalam draft kurikulum 1994/1995 tersebut, ditujukan untuk lebih
mempertajam hierarki tujuan kurikulum. Adanya hierarki tujuan kurikulum yang
lebih lanjut diharapkan dapat memudahkan guru menjabarkannya.
b. Materi/
Pengalaman Belajar
Hal yang merupakan fungsi khusus
dari kurikulum pendidikan formal untuk memilih dan menyusun isi (komponen kedua
dari kurikulum) supaya keinginan tujuan kurikulum dapat dicapai dengan cara
yang paling efektif dan supaya yang
paling penting pengetahuan yang diinginkan pada jalurnya dapat disajikan secara efektif (Zais, 1976:322). Selain itu
untuk mencapai setiap tujuan yang telah ditentukan diperlukan bahan ajaran
(Nana Sy Sukmadinata, 1988:114). Namun demikian sebenarnya tidak cukup hanya
isi/bahan ajaran saja yang dipikirkan dalam kegiatan pengembangan kurikulum,
lebih dari itu adalah pengalaman belajar yang mampu mendukung pencapaian tujuan
secara efektif. Hal ini berarti kita memandang kurikulum merupakan suatu
rencana belajar, dan tujuan menentukan belajar apa yang penting, maka kurikulum
secara pasti mencakup seleksi dan organisasi isi/materi dan pengalaman belajar
(Taba, 1962:266) Isi atau materi kurikulum adalah semua pengetahuan,
keterampilan, nilai-nilai, dan sikap yang terorganisasi dalam mata pelajaran/bidang
studi. Sedangkan pengalaman belajar dapat diartikan sebagai kegiatan belajar
tentang atau belajar bagaimana disiplin berpikir dari suatu disiplin ilmu.
Dengan demikian jelaslah bahwa baik materi/isi kurikulum dan pengalaman belajar
harus dipikirkan dan dikaji serta diorganisasikan dalam pengembangan kurikulum.
Pentingnya materi/isi kurikulum dan pengalaman belajar, dapat kita lihat dari
pernyataan Taba (1962:263) berikut ini: “Selecting the content, with
accompanying learning experiences, is one of the two central decisions in
curriculum making, and therefore a relational method of going about it is
matter of great concern”.
c. Organisasi
Perbedaan antara belajar di sekolah
dan belajar dalam kehidupan adalah dalam hal pengorganisasian secara formal di
sekolah. Jika kurikulum merupakan suatu rencana untuk belajar, maka isi dan
pengalaman belajar membutuhkan pengorganisasian sedemikian rupa sehingga
berguna bagi tujuan-tujuan pendidikan (Taba, 1962:290). Berdasarkan pendapat
Taba tersebut, jelas bahwa materi dan pengalaman belajar dalam kurikulum
diorganisasikan untuk mengefektifkan pencapaian tujuan. Namun demikian perlu
kita sadari bahwa pengorganisasian kurikulum merupakan kegiatan yang sulit dan
kompleks. Sukar dan merupakan kegiatan yang sulit dan kompleks. Sukar dan
kompleksnya pengorganisasian kurikulum dikarenakan kegiatan tersebut bertalian
dengan aplikasi semua pengetahuan yang ada tentang pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik, dan masalah proses pembelajaran (Sumatri, 1988:23). Masalah-masalah
utama organisasi kurikulum berkisar pada ruang lingkup (scope), dan sekuensi,
kontinuitas, dan integrasi.
d. Evaluasi
Evaluasi, komponen keempat kurikulum, mungkin
merupakan aspek kegiatan pendidikan yang dipandang paling kecil (Zais,
1976:369). Evaluasi ditujukan untuk melakukan evaluasi terhadap belajar siswa (
hasil dari proses) maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran. Lebih lanjut
Zais (1976:378) mengemukakan evaluasi kurikulum secara luas merupakan suatu
usaha sangat besar yang kompleks yang mencoba menantang untuk mengkodefikasi
proses salah satu dari istilah sekuensi atau komponen-komponen. Evaluasi
kurikulum secara luas tidak hanya menilai dokumen tertulis, tetapi yang lebih
penting adalah kurikulum yang diterapkan sebagai bahan-bahan fungsional dari
kejadian-kejadian yang meliputi interaksi siswa, guru, material, dan
lingkungan. Adapun peran evaluasi dalam kurikulum secara keseluruhan, baik
evaluasi belajar siswa maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran, dapat
digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Dari uraian tentang evaluasi
ini, jelas evaluasi bukanlah komponen atau kegiatan pendidikan yang kecil.
Sebagai komponen kurikulum, evaluasi merupakan bagian integral dari kurikulum.
Kegiatan evaluasi akan memberikan informasi dan data tentang perkembangan
belajar siswa maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran, sehingga dapat
dibuat keputusan-keputusan pembelajaran dan pendidikan secara tepat.
2. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Ada berbagai prinsip pengembangan kurikulum yang
merupakan kaidah yang menjiwai kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum dapat
menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang di dalam kehidupan
sehari-hari atau menciptakan prinsip-prinsip yang telah berkembang di dalam
kehidupan sehari-hari atau menciptakan prinsip-prinsip baru. Sebab itu, selalu
mungkin terjadi suatu kurikulum menggunakan prinsip-prinsip berbeda dengan yang
digunakan kurikulum lain (Depdikbud, 1982 :27). Berbagai prinsip pengembangan kurikulum
tersebut diantaranya:
a. berorientasi
pada tujuan.
b. prinsip
relevansi.
c. prinsip efisiensi.
d. prinsip
efektivitas.
e. prinsip
fleksibilitas.
f. prinsip
integritas.
g. prinsip
kontinuitas.
h. prinsip
sinkronisasi.
i. prinsip
objektivitas.
j. prinsip
demokrasi.
k. prinsip
praktis.
(Depdikbud,
1982 :27-28; Nana Sy. Sukmadinata, 1988 : 167-168). Dari berbagai prinsip
pengembangan kurikulum tersebut, tiga di antaranya yakni prinsip relevensi,
prinsip kontinuitas, dan prinsip fleksibilitas akan diuaraikan berikut ini.
a. Prinsip
Relevensi
Apabila pengembang kurikulum
melaksanakan pengembangan kurikulum dengan memilih jabaran komponen-komponen
kurikulum agar sesuai (relevan) dengan berbagai tuntutan, maka pada saat itu ia
sedang menerapkan prinsip relevansi pengembangan kurikulum. Relevansi berarti
sesuai antara komponen-komponen, tujuan, isi/pengalaman belajar, organisasi dan
evaluasi kurikulum, dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik dalam
pemenuhan tenaga kerja maupun warga masyarakat yang diidealkan. Nana Sy.
Sukmadinata (1988:167-168) membedakan relevansi menjadi dua macam, yakni
relevansi keluar maksudnya tujuan, isi dan proses belajar yang tercakup dalam
kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan
masyarakat. Sedangkan relevansi ke dalam yaitu terjalin relevansi di antara
komponen-komponen kurikulum, tujuan,isi, proses penyampaian dan evaluasi.
b. Prinsip
Kontinuitas
Komponen kurikulum yakni tujuan,
isi/ pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi dikembangkan secara
berkesinambungan. Prinsip kontinuitas atau berkesinambungan menghendaki pengembangan
kurikulum yang berkesinambungan secara vertikal dan berkesinambungan secara
horizontal. Berkesinambungan secara vertikal (bertahap/ berjenjang) dalam
artian antara jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikembangkan kurikulumnya
secara berkesinambungan tanpa ada jarak di antara keduanya, dari tujuan
pembelajaran sampai ke tujuan pendidikan nasional juga berkesinambungan,
demikian pula komponen yang lain. Berkesinambungan secara vertikal menuntut
adanya kerja sama antara pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dasar,
jenjang pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi (Nana Sy.
Sukmadinata, 1988:168). Sedangkan berkesinambungan horizontal (berkelanjutan)
dapat diartikan pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dan tingkat/kelas
yang sama tidak teputus-putus dan merupakan pengembangan yang terpadu.
c. Prinsip
fleksibilitas
Para pengembang kurikulum menyadari
bahwa kurikulum harus mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan
sewaktu yang selalu berkembang tanpa merombak tujuan pendidikan yang harus
dicapai (Depdikbud,1982:27). Selain itu, perlu disadari juga bahwa kurikulum
dimaksudkan untuk mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan kehidupan
yang akan datang, di sini dan di tempat lain, bagi anak yang memiliki latar
belakang dan kemampuan berbeda (Nana Sy. Sukmadinata, 1988 :168). Dari uraian
sebelumnya, jelas bahwa prinsip fleksibilitas menuntut adanya keluwesan dalam
pengembangan kurikulum tanpa mengorbankan tujuan yang hendak dicapai. Namun
demikian, keluwesan jangan diartikan bahwa kurikulum dapat diubah kapan saja.
Keluwesan harus diterjemahkan sebagai kelenturan melakukan penyesuaian komponen
kurikulum dengan setiap situasi dan kondisi yang selalu berubah.
d. Prinsip
efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan
antar tenaga,waktu,suara,dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh
kurikulum dikatakan memiliki tingkat efesiensi yang tinggi apabila dengan
sarana,biaya yang minimal dan waktu yang terbatas dapat memperoleh hasil yang
maksimal.betapa pun bagus dan idealnya suatu kurikulum,manakala menuntut
peralatan,sarana dan prasarana yang khusus serta mahal harganya,maka kurikulum
itu tidak praktis dan sukar untuk dilaksanakan.kurikulum harus dirancang untuk
dapat digunakan dalam segala keterbatasan.
e. Prinsip efektivitas
Prinsip efektivitas yaitu mengusahakan agar kegiatan
pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara
kualitas maupun kuantitas. Efektifitas dalam suatu kegiatan berkenaan dengan
sejauh mana apa yang idrencanakan atau dapat diinginkan dapat terlaksana atau
tercapai. Didalam bidang pendidikan, efektifitas ini dapat ditinjau dari dua
segi efektifitas mengajar guru dan efektifitas belajar murid.
a. Efektifitas
mengajar guru
Efektifitas guru ini mencakup sejauh mana seorang guru
melakaukan kegiatan belajar mengajar yang direncanakan dapat dilaksanakan
dengan baik.
b. Efektifitas
belajar murid
Efektifitas belajar ini menyangkut sejauh mana
tujuan-tujuan pembelajaran yang diinginkan telah dapat dicapai melalaui
kegiatan belajar mengajar yang ditempuh.
f. Prinsip integritas (mutu)
Kurikulum harus dikembangkan berdasarkan suatu
keseluruhan atau kesatuan yang bermakna dan berstruktur. Bermakna maksudnya
adalah suatu keseluruhan itu memiliki arti, nilai, manfaat atau faedah
tertentu. Keseluruhan bukan merupakan penjumlahan keseluruhan bagian-bagian
melainkan suatu totalitas yang memiliki maknanya sendiri. Implikasinya adalah
para pengembang kurikulum harus memperhatikan dan mengusahakan agar pendidikan
dapat menghasilkan pribadi-pribadi yang unggul dan manusia seutuhnya.
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan
mutu, yang berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh
derajat mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan,/media yang bermutu.
Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan
nasional yang diaharapkan.
g. Prinsip sinkornisasi (keterpaduan)
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan
prinsip keterpaduan, perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik
dan konsistensi antara unsur-unsusrnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan
semua pihak, baik di lingkungan sekolah maupun pada tingkat inter sektoral.
Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuk pribadi yang bulat dan utuh.
Diamping itu juga dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembalajaran, baik
dalam interaksi antar siswa dan guru maupun antara teori dan praktek. Kurikulum harus dikembangkan dengan mengusahakan agar
semua kegiatan kurikuler, ekstrakulrikuler dan kokurikuler serta pengalaman
belajar lainnya dapat selaras, serasi, seimbang, searah dan setujuan. Jangan
sampai terjadi suatu kegiatan kurikuler menghambat, berlawanan dan mematikan
kegiatan-kegiatan kurikuler lainnya termasuk kegiatan ekstra dan kokulikuler.
h. Prinsip
Objektivitas
Kurikulum harus dikembangkan dengan mengusahakan agar
semua kegiatan (intrakulikuler, ekstrakulikuler dan kokurikuler) dilakukan
dengan tatanan kebenaran ilmiah serta mengesampingkan pengaruh subjectivitas,
emosional dan irasional.
i. Prinsip
Demokrasi
Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh
nilai-nilai demokrasi, yaitu pnghargaan terhadap kemampuan, menjunjung
keadilan, menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keberagaman peserta
didik. Pengemban kurikulum hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insane
yang harus dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan
potensinya.
j. Prinsip
Praktis
Kurikulum harus praktis, mudah dilaksanakan,
menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. dan efisien.. Walaupun
bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan
peralatan-peralatan yang sangat khusus dan mahal biayanya maka kurikulum
tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu
dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan , baik keterbatasan waktu, biaya,
alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis.
k. Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Pengembngan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan Nasional. Tujuan kurikulum
merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang
pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengadung aspek-aspek pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan nilai. Yang selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah laku
peserta didik yang mencakup tiga aspek tersebut dan bertalian dengan
aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
Apabila kita mengkaji komponen-komponen kurikulum dan
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, keduanya saling terkait satu dengan
yang lain. Pengembangan kurikulum dengan sendirinya selelau berkenaan dengan
komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
sekaligus. Penguasaan tentang komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum dipersyaratkan bagi setiap pengembang kurikulum.
C. MODEL-MODEL
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Untuk
melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model pengembangan kurikulum yang
dapat dijadikan acuan atau diterapkan sepenuhnya. Model-model pengembangan
kurikulum tersebut sering kali dinamakan dengan nama ahli yang melontarkan
gagasan tentang model pengembangan kurikulum tersebut. Berikut ini akan
diuraikan tentang beberapa model pengembangan kurikulum.
1. Model Administratif (Line –staff)
Model
administratif atau garis-komando (line staff) merupakan pola pengembangan
kurikulum yang paling awal dan mungkin yang paling dikenal (Zais, 1976:447;
Nana Sy. Sukmadinata, 1988 :179). Model pengembang kurikulum ini berdasarkan
pada cara kerja atasan bawahan (top-down) yang dipandang efektif dalam
melaksanakan perubahan, termasuk perubahan kurikulum.Model administratif/garis-komando
memiliki langkah-langkah berikut ini:
a. Administrasi pendidikan/ top administrative officers
(pimpinan) membentuk komisi pengarah.
b. Komisi pengarah (steering comittee) bertugas
merumuskan rencana umum, mengembangkan prinsip-prinsip sebagai pedoman, dan
menyiapkan suatu pernyataan filosofis dan tujuan-tujuan untuk seluruh wilayah
sekolah.
c. Membentuk komisi kerja pengembangan kurikulum yang
bertugas mengembangkan kurikulum secara operasional mencakup keseluruhan
komponen kurikulum dengan mempertimbangkan landasan dan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum.
d. Komisi pengarah memeriksa hasil kerja dari komisi
kerja dan menyempurnakan bagian-bagian tertentu bila dianggap perlu. Karena
pengembangan kurikulum model administratif ini berdasarkan konsep, inisiatif
dan arahan dari atas ke bawah, maka akan memerlukan waktu bertahun-tahun agar
dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan adanya tuntutan untuk
mempersiapkan para pelaksana kurikulum tersebut.
Dari uraian
model pengembangan kurikulum administrasi kita dapat menandai adanya dua
kegiatan di dalamnya: (a) Menyiapkan seperangkat dokumen kurikulum yang baru,
dan (b) Menyiapkan instalasi atau implementasi dokumen. Dengan kata lain, model
administrasi garis-komando membutuhkan kegiatan penyiapan para pelaksana
kurikulum melalui berbagai bentuk pelatihan agar dapat melaksanakan kurikulum
dengan baik.
2. Model Grass-Roots
Model
pengembangan kurikulum ini merupakan kebalikan dari model administratif dilihat
dari sumber inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum. Bila model
administratif semua inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum di atas, maka
model rakyat biasa (Grass-Roots) semua inisiatif dan upaya pengembangan
kurikulum dari bawah. Bisa dikata, model administratif bersifat top-down
(atasan bawahan) sedangkan model grass-roots bottom up (dari bawah ke atas).
Lebih lanjut juga bisa diketahui bahwa model administratif sentralisasi penuh,
sedangkan model grass-roots cenderung berlaku dalam sistem yang kurikulumnya
bersifat desentralisasi atau memberikan peluang terjadinya desentralisasi
sebagian. Model pengembangan kurikulum grass-roots dapat mengupayakan
pengembangan sebagian dari keseluruhan komponen kurikulum atau keseluruhan dari
seluruh komponen kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum model grass-roots
perlu diingat 4 (empat) prinsip berikut yang dikemukakan oleh Smith, Stanley,
dan Shores (1957 dalam Zais,1976:449), yakni:
a. Kurikulum akan bertambah baik hanya kalau kompetensi
profesional guru bertambah baik.
b. Kompetensi guru akan menjadi bertambah baik hanya
kalau guru-guru menjadi personil-personil yang dilibatkan dalam masalah-masalah
perbaikan (revisi) kurikulum.
c. Jika para guru bersama menanggung bentuk-bentuk yang
menjadi tujuan yang dicapai, dalam memilih, mendefinisikan dan memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi, serta dalam memutuskan dan menilai hasil,
keterlibatan mereka akan dapat lebih terjamin.
d. Sebagai orang yang bertemu dalam kelompok-kelompok
tatap muka, mereka akan lebih mampu mengerti satu dengan yang lain dengan lebih
baik dan membantu adanya konsensus dalam prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan,
dan perencanaan.
Dari uraian
sebelumnya jelaslah bahwa untuk menjadi pengembang kurikulum yang handal, guru
dituntut memiliki sejumlah kemampuan. Dalam rangka memberikan dan/atau
membentuk kompetensi guru, maka guru haruslah diberikan kesempatan untuk
terlibat secara langsung menghadapi dan memecahkan masalah kurikulum.
3. Model Beauchamp
Pengembangan
kurikulum dengan menggunakan model Beauchamp memiliki lima bagian pembuatan
keputusan. Lima tahap pembuatan keputusan tersebut adalah:
1. Memutuskan arena pengembangan kurikulum, suatu
keputusan yang menjabarkan ruang lingkup upaya pengembangan.
2. Memilih dan melibatkan personalia pengembangan
kurikulum suatu keputusan yang menetapkan personalia upaya pengembangan
kurikulum. Ada 4 (empat) kategori personalia yang dilibatkan, yakni:
a. Personalia ahli, misal ahli kurikulum atau ahli bidang
studi (disiplin ilmu).
b. Kelompok terpilih yang terdiri dari ahli pendidikan
dan guru-guru terpilih.
c. Semua personil profesional dalam sistem persekolahan.
d. Personil profesional dan tokoh-tokoh masyarakat yang
terpilih.
3. Pengorganisasian dan prosedur pengembangan kurikulum,
dengan kegiatan sebagai berikut:
a. Membentuk tim pengembang kurikulum.
b. Menilai kurikulum yang sedang berlaku.
c. Studi awal tentang isi kurikulum baru dan
alternatifnya.
d. Merumuskan kriteria untuk memutuskan hal-hal yang
dapat masuk dalam kurikulum baru.
e. Tim pengembang menyusun dan menulis kurikulum.
4. Implementasi kurikulum, yakni kegiatan untuk
menerapkan kurikulum seperti yang sudah diputuskan dalam ruang lingkup
pengembangan kurikulum.
5. Evaluasi kurikulum, yakni kegiatan yang memiliki 4
(empat) dimensi yang terdiri dari
a. Evaluasi guru-guru yang menggunakan kurikulum.
b. Evaluasi rancangan kurikulum.
c. Evaluasi hasil belajar pebelajar.
d. Evaluasi sistem pengembangan kurikulum.
Data yang berhasil dikumpulkan melalui kegiatan
evaluasi akan digunakan untuk memperbaiki proses pengembangan kurikulum dan
untuk kontinuitas kurikulum. (Zais,1976:453; Nana Sy. Sukmadinata,
1988:181-182)
4. Model Arah-terbalik Taba (Taba’s Inverted Model)
Sesuai
dengan namanya model pengembangan kurikulum ini terbalik dari yang lazim
dilaksanakan, yakni dari biasanya dilakukan secara deduktif dibalik menjadi
induktif. Menurut model Taba, pengembangan kurikulum dilaksanakan dalam lima
langkah:
1. Membuat unit-unit percobaan (Producing Pilot Units),
yakni suatu kegiatan membuat eksperimen unit-unit percobaan melalui kelompok
guru yang dijadikan contoh melalui penyajian dalam tingkat/kelas tertentu dan
pokok bahasan tertentu dengan pengamatan yang seksama. Langkah awal ini
merupakan jalinan awal antara teori dan praktek.
2. Menguji unit-unit eksperimen (Testing Experimental
Units), yakni kegiatan untuk menguji ulang unit-unit yang telah digunakan oleh
guru yang membuatnya guru di kelas itu sendiri, di kelas lain atau kelas yang
berbeda. Uji-ulang ini perlu dilakukan dalam kondisi yang bervariasi. Uji-ulang
ini akan memberikan saran-saran untuk modifikasi, alternatif pilihan isi, dan
pengalaman belajar serta bahan yang digunakan untuk akomodasi oleh pebelajar
yang berlainan.
3. Merevisi dan mengkonsolidasi, yakni kegiatan lanjutan
uji-coba. Merevisi berarti mengadakan perbaikan dan penyempurnaan pada unit
yang dicobakan, sehingga dapat disajikan suatu kurikulum untuk semua jenis
kelas. Mengkonsolidasi berarti mengadakan penyimpulan tentang hasil percobaan
yang memungkinkan digunakannya unit-unit tersebut dalam lingkup yang lebih
luas.
4. Mengembangkan jaringan kerja, yakni kegiatan yang
dilakukan untuk lebih meyakinkan apakah unit-unit yang telah direvisi dan
dikonsolidasikan dapat digunakan lebih luas atau tidak. Untuk itu perlu
dilakukan uji/penilaian mengenai sekuensi dan lingkupnya oleh orang yang
berkompeten dalam pengembangan kurikulum, dalam hal ini adalah ahli kurikulum.
5. Memasang dan mendeseminasi unit-unit baru, yakni
kegiatan untuk menerapkan dan menyebarluaskan unit-unit baru yang dihasilkan.
Agar dapat digunakan dan disebarluaskan secara tepat maka perlu dilakukan
penyiapan guru-guru yang akan menggunakannya melalui pelatihan jabatan.
5. Model Rogers
Carl Rogers
adalah seorang ahli psikologi yang berpandang bahwa manusia dalam proses
perubahan (becoming, developing, changing) yang mempunyai kekuatan dan potensi
untuk berkembang sendiri (Nana Sy. Sukmadinata, 1988:184). Berdasarkan
pandangan tentang manusia, maka Rogers mengemukakan model pengembangan
kurikulum yang disebut Model Relasi Interpersonal Rogers (Rogers Interpersonal
Relation Model).
Model Relasi
Interpersonal Rogers terdiri dari empat langkah pengembangan kurikulum, yakni :
a. Pemilihan satu sistem pendidikan sasaran.
b. Pengalaman kelompok yang intensif bagi guru.
c. Pengembangan suatu pengalaman kelompok yang intensif
bagi satu kelas atau unit pelajaran.
d. Melibatkan orang tua dalam pengalaman kelompok yang
intensif. Apabila kita perhatikan langkah-langkah dalam model relasi
interpersonal ini, tidak satupun yang mengemukakan tentang rancangan tertulis.
Rogers lebih
mementingkan kegiatan pengembangan kurikulum daripada rancangan pengembangan
kurikulum tertulis, yakni melalui aktivitas dan interaksi dalam pengalaman
kelompok intensif yang terpilih.
D. GURU DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
1. Pembelajaran dan kurikulum
Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajar merupakan implementasi
kurikulum, tapi banyak juga yang mengemukakan bahwa pembelajaran itu sendiri
merupakan kurikulum sebagai aksi/kegiatan. Untuk memperjelas hubungan antara
pembelajaran dan kurikulum, kita mulai dari melihat hakikat keduanya. Hakikat
pembelajaran diantaranya adalah:
1. Kegiatan
yang dimaksud untuk membelajarkan pebelajar.
2. Program
pembelajaran yang dirancang dan diimplementasikan sebagai suatu sistem.
3. Kegiatan
yang dimaksudkan untuk memberikan pengalaman belajar terhadap pebelajar.
4. Kegiatan
yang mengarahkan pebelajar ke arah pencapaian tujuan pembelajaran.
5. Kegiatan
yang melibatkan komponen-komponen tujuan, isi pelajaran, sistem penyajian, dan
sistem evaluasi dalam realisasinya.
Hakikat pembelajaran sebagaimana diuraikan pada alinea
sebelumnya, harus kita pertentangkan dengan hakikat kurikulum:
1. kurikulum
sebagai jalan untuk meraih ijazah.
2. kurikulum
sebagai mata dan isi pelajaran.
3. kurikulum
sebagai rencana kegiatan pembelajaran.
4. kurikulum
sebagai hasil belajar.
5. kurikulum sebagai pengalaman
belajar.
Dari mempertentangkan dan membandingkan hakikat
kurikulum dan pembelajaran, kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran dan
kurikulum merupakan dua konsep yang tak terpisahkan satu dengan yang lain
(Johnson dalam Zais, 1976:10). Sebagai dua konsep yang tak dibedakan, baik
pembelajaran maupun kurikulum dapat dalam wujud rencana juga dapat berwujud
kegiatan. Guru sebagai orang yang berkewajiban merencanakan pembelajaran
(instruction planning) selalu mengacu kepada komponen-komponen kurikulum yang
berlaku.
2. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Dari berbagai model pengembangan kurikulum yang telah
diuraikan pada pembahasan sebelumnya, sebagian besar model melibatkan guru
dalam pengembangan kurikulum. Keterlibatan guru dalam model-model pengembangan
kurikulum tersebut tentunya bukanlah kebetulan belaka. Guru adalah orang yang
tahu persis situasi dan kondisi diterpkannya kurikulum yang berlaku. Selain
itu, guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar yang diinginkan
(Raka Joni, 1980:26).
Berdasarkan kenyataan bahwa guru tahu situasi dan
kondisi serta bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar, maka sudah
sewajarnya guru berperan dalam pengembangan kurikulu. Peran guru dalam
pengembangan kurikulum diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan berikut:
1. Merumuskan
tujuan khusus pengajaran berdasarkan tujuan kurikulum di atasnya dan
karakteristik pebelajar, mata pelajaran/bidang studi, dan karakteristik situasi
kondisi sekolah/kelas.
2. Merencanakan
kegiatan pembelajaran yang dapat secara efektif membantu pebelajar mencapai
tujuan yang ditetapkan.
3. Menerapkan
rencana/ program pembelajaran yang dirumuskan dalam situasi pembelajaran yang
nyata.
4. Mengevaluasi
hasil dan proses belajar pada pebelajar.
5. Mengevaluasi
interaksi antara komponen-komponen kurikulum yang diimplementasikan.
Lima kegiatan di atas merupakan peran guru dalam
pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi. Sedangkan dalam pengembangan
kurikulum yang bersifat desentralisasi peran guru lebih besar, yakni mencakup
pengembangan keseluruhan komponen-komponen kurikulum dalam perencanaan,
mengimplementasikan kurikulum yang dikembangkan, mengevaluasi implementasi
kurikulum, dan merevisi komponen-komponen kurikulum yang kurang memadai.
E. PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA
1. Kurikulum 1968
Sebelum diterapkan
kurikulum 1968, pada tahun 1947 pernah diterapkan Rencana Pelajaran yang pada
waktu itu menteri pendidikannya dijabat Mr. Suwandi. Rencana Pelajaran 1947 memuat
ketentuan sebagai berikut:
1. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah.
2. Jumlah mata pelajaran untuk Sekolah Rakyat (SR) 16 bidang studi, SMP 17
bidang studi, SMA jurusan B 19 bidang studi.
Lahirnya
Rencana Pelajaran 1947 diawali dari pembenahan sistem persekolah pasca
Indonesia merdeka yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi,
pembenahan ini baru bisa diterapkan pada tahun 1965 melalui keputusan Presiden
Nomor 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
Jiwa kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.
Setelah
berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/I966
yang berisi tujuan pendidikan membentuk manusia Pancasilais sejati. Dua tahun
kemudian lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan yang
terstruktur pertama kali (Cony Semiawan, 19B0). Tujuan pendidikan menurut
Kurikulum 1968 adalah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat
keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta
membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum
1968 adalah:
1. bersifat: correlated subject currikulum.
2. jumlah mata pelajaran untuk SD 10 bidang studi, SMP 18 bidang studi (Bahasa
Indonesia dibedakan bahasa Indonesia I dan II, SMA jurusan A 18 bidang studi,
SMA jurusan B 20 bidang studi, jurusan SMA C 19 bidang studi.
3. penjurusan SMA dilakukan di kelas II. Pada waktu diberlakukan Kurikulum
I968 yang mejabat menteri pendidikan adalah Mashuri. S.H.
2. Kurikulum 1975
Kurikulum ini
ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb
(1973-1978). Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah:
1. Sifat: integrated curriculum organization.
2. SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang studi.
3. Pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
4. Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika.
5. Jumlah mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi.
6. Penjurusan SMA dibagi tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan
semester II kelas 1. Ketika belum semua sekolah mengimplementasikan Kurikulum
1975, mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa mengejar kemajuan pesat
masyarakat. Maka kurikulum 1975 diganti oleh Kurikulum 1984.
3. Kurikulum 1984
Kurikulum ini
diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
seorang ahli sejarah Indoesia. Ketentuan-ketentuan dalam Kurikulum 1984 adalah:
1. Sifat: Content Based Curnculum.
2. Program pelajaran mencakup 11 bidang studi.
3. Jumlah mata pelajaran SMP menjadi 12 bidang studi.
4. Jumlah mata pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program inti, 4 bidang
studi untuk program pilihan.
5. Penjurusan SMA dibagi lima: program A1
(Ilmu Fisika), A2 (Ilmu Biologi), A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya, dan A5 (Ilmu
Agama).
6. Penjurusan dilakukan di kelas II. Pada Kurikulum 1984 penambahan bidang
studi, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Hal ini bisa
dimaklumi karena menteri pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan.
Dalam perjalanannya, Kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap
sarat beban sehingga diganti dengan Kurikulum 1994 yang lebih sederhana.
4. Kurikulum 1994
Kurikulum ini
ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof Dr. Ing Wardiman
Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ.
Habibie. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum 1994 adalah:
1. bersifat: Objective Based Curriculum.
2. nama SMP diganti mejadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA
diganti SMU (Sekolah Menengah Umum).
3. mata pelajaran PSPB dihapus.
4. program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran.
5. Program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran.
6. Penjurusan SMA dilakukan di kelas II terdiri dari program IPA, program IPS, dan program Bahasa.
Ketika
reformasi bergulir tahun 1998, Kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian
dalam rangka mengakomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen
Kurikulurn 1994 yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada
penyesuaian-penyesuaian materi pelajaran, terutama mata pelajaran seperti PPKN,
Sejarah, dan beberapa mata pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi kurikulum ini pun
mengalami nasib yang sama dengan kurikulum sebelumnya. Bersamaan dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, pemerinrah melalui
Departemen pendidikan Nasional menggagas kurikulum baru yang diberi nama
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
5. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004)
Kurikulum
Berbasis Kompetensi lahir di tengah-tengah adanya tuntutan mutu
pendidikan di Indonesia. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendidikan
Indonesia semakin hari semakin terpuruk. Bahkan dengan negara tetangga pun yang
dulu belajar ke Indonesia, seperti Malaysia, Indonesia tertinggal dalam hal
mutu pendidikan. Pendidikan di Indonesia dianggap hanya melahirkan lulusan yang
akan menjadi beban negara dan masyarakat, karena kurang ditunjang dengan
kompetensi yang memadai ketika terjun dalam masyarakat.
Untuk merespons hal tersebut pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional
menawarkan kurikulum yang dianggap mampu menjawab problematika seputar
rendahnya mutu pendidikan dewasa ini. Karena dalam Kurikulum Berbasis
Komperensi peserta didik diarahkan untuk menguasai sejumlah kompetensi sesuai
dengan standar yang telah ditentukan (Kunandar, 2005).
Kurikulum
Berbasis Komperensi digagas ketika Menteri Pendidikan dijabat oleh Prof. Abdul
Malik Fadjar, M.Sc. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi adalah:
1. bersifat: Competency Based Curriculum.
2. penyebutan SLTP menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMU menjadi SMA (Sekolah Menengah Atas).
3. program pengajaran SD disusun 7 mata
pelajaran.
4. program pengajaran SMP disusun dalam 11 mata pelajaran.
5. program pengajaran SMA disusun dalam 17 mata pelajaran.
6. penjurusan SMA dilakukan di kelas II, terdiri atas Ilmu Alam, Sosial, dan
Bahasa (Kompas, 16 Agustus 2005)
Kurikulum Berbasis Kompetensi meskipun sudah
diujicobakan di beberapa sekolah melalui pilot project, tetapi ironisnya
pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional belum mengesahkan
kurikulum ini secara formal. Sepertinya pemerintah masih ragu-ragu dengan
kurikulum ini. Hal ini dimaklumi, karena uji coba kurikulum ini menuai kritik
dari berbagai kalangan, baik para ahli pendidikan maupun praktisi pendidikan.
Beberapa kritik terhadap kurikulum ini adalah:
1. Masih sarat
dengan materi sehingga ketakutan guru akan dikejar-kejar materi seperti yang
terjadi pada kurikulum 1994 akan terulang kembali.
2. pemerintah
pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional masih terlalu intervensi terhadap
kewenangan sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum tersebut.
3. masih belum
jelasnya (bias) pengertian kompetensi sehingga ketika diteraplkan pada standar,
kompetensi kelulusan belum terlalu aplikatif.
4. adanya
sistem penilaian yang belum begitu jelas dan terukur.
Melalui
kebijakan pemerintah, kurikulum berbasis kompetensi mengalami revisi, dengan
dikeluarkannya Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Diknas Nomor
23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen Diknas Nomor 24 tentang Pelaksanaan
kedua permen di atas. Ketiga permen tersebut dikeluarkan pada tahun 2006.
Dengan dikeluarkannya ketiga permen tersebut seakan menjawab ketidakjelasan
nasib KBK yang selama ini sudah diterapkan di
beberapa sekolah, baik melalui pitot project atau swadaya dari sekolah
tersebut. Keterandan dan keunggulan kurikulum ini pun masih perlu diuji di
lapangan dan waktu yang nanti akan menjawabnya.
6. Kurikulum
Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)
Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi atau ada yang menyebut Kurikulum 2004. KTSP lahir karena dianggap
KBK masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini
Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam mengembangan kurikulum. OIeh
karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan
pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan kewenangan untuk
mengembangan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa
komponen kurikulum lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru berpangkal
pada suatu kurikulum, dan dalam proses pembelajaran guru juga berorientasi pada
tujuan kurikulum. Pada satu sisi, guru adalah pembelajar siswa, yang secara kreatif
membelajarkan siswa sesuai dengan kurikulum sekolah. Hal itu menunjukkan bahwa
dalam tugas pembalajaran dipersyaratkan agar guru memahami kurikulum.
Para ahli seperti Zais, Winecoff, Bondi, Tanner &
Tanner telah mempelajari kurikulum. Mereka mengemukakan prinsip dan teori yang
berbeda-beda. Meskipun demikian mereka juga mengemukakan arti kurikulum sebagai
(i) jalan meraih ijazah, (ii) mata pelajaran dan isi pelajaran (iii) rencana
kegiatan pembelajaran, (iv) hasil belajar yang direncanakan, dan (v) pengalaman
belajar. Terbentuknya kurikulum tersebut dilandasi oleh berbagai landasan
pemikiran seperti (i) landasan filosofis, (ii) landasan sosial-budaya-agama,
(iii) landasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (iv) landasan
kebutuhan masyarakat, (vi) landasan perkembangan masyarakat. Sebagai suatu
program, maka kurikulum terdiri dari beberapa komponen penting, seperti (i)
tujuan, (ii) pengalaman blajar, (iii) organisasi pengalaman belajar, (iv)
evaluasi. Dalam tugas pengembangan, guru berurusan dengan komponen-komponen
kurikulum, selanjutnya dalam pengembangan kurikulum. Diantara prinsip
pengembangan tersebut adalah (i) prinsip relevansi, (ii) prinsip kontinuitas,
dan (iii) prinsip fleksibilitas.
Para ahli kurikulum juga menemukan model-model pengembangan
kurikulum. Diantara model pengembangan kurikulum tersebut adalah (i) model
admnistratif, (ii) model Grass-Roots,
(iii) model Beuchamp, (iv) model arah-terbalik Taba, dan (v) model Rogers.
Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi
kurikulum. Pada sisi lain banyak ahli mengemukakan bahwa pemebelajaran itu
sendiri merupakan kurikulum terapan atau kurikulum dalam kegiatan/aksi. Hal itu
berarti bahwa pembelajaran dan kurikulum merupakan dua konsep yang tak
terpisahkan.
Guru sebagai pembelajar mengetahui konisi, situasi, dan
bertanggung jawan atas tercapainya hasil belajar. Pada sisi lain guru juga
bertanggung jawab atas keberlakuan dalam pembangunan kurikulum. Oleh karena
itu, sewajarnya guru berperan optimal dalam pengembangan kurikulum terwujud
dalam kegatan-kegiatan berikut : (i) perumusan tujuan khusus pengajaran, (ii)
perencanaan kegaiatan pembelajaran yang efektif, (iii) pelaksanaan program
pembelajaran dalam pembelajaran sesungguhnya, (iv) mengevaluasi proses belajar
dan hasil belajar siswa, dan (v) mengevaluasi interaks antara komponen-komponen
kurikulum yang diimplementasikan. Kelima kegiatan tersebut merupakan tuntutan
bagi guru yang profesional.
B. Saran
Tiada kata yang pantas kami ucapkan selain
rasa syukur yang seber-besarnya kepada ALLAH SWT. atas terselesaikannya makalah
ini, kami selaku penulis makalah ini menyadari dalam penyusunan makalah yang
membahas tentang “PEMBELAJARAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM” ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari tata cara
penulisan dan bahasa yang dipergunakan maupun dari segi penyajian materinya.
Untuk itu kritik dan saran dari
pembimbing atau dosen yang terlibat dalam penyusunan makalah ini yang bersifat
kousteuktif dan bersifat komulatif sangat kami harapkan supaya dalam penugasan
makalah yang akan datang lebih baik dan lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997.
Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya. Strategi
Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia
E. Mulyasa.2003. Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T.
Remaja Rosdakarya.
2004. Implementasi Kurikulum
2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
W. Gulo. 2005. Strategi Belajar
Mengajar Jakarta :. Grasindo.
Barton, J., &Collins, A(ed.) (1977).
Portofolio Assessment : A handbook for educators.
Menlo Park, CA : Addison-Wesley
Publishing. Sanjaya, Wina, 2008. Kurikulum Pembelajaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar