Suku Enrekang
Suku
Enrekang masih berhubungan erat dengan Bugis . Pada umumnya berdomisili di
Kabupaten Enrekang provinsi Sulsel. Sejak abad XIV, daerah ini disebut
MASSENREMPULU yang artinya meminggir gunung atau menyusur gunung, sedang
sebutan Enrekang dari ENDEG yang artinya NAIK DARI atau PANJAT dan dari sinilah
asal mulanya sebutan ENDEKAN. Masih ada arti versi lain yang dalam pengertian
umum sampai saat ini bahkan dalam Adminsitrasi Pemerintahan telah dikenal
dengan nama “ENREKANG” versi Bugis sehingga jika dikatakan bahwa Daerah
Kabupaten Enrekang adalah daerah pegunungan, sudah mendekati kepastian sebab
jelas bahwa Kabupaten Enrekang terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit
sambung menyambung mengambil ± 85 % dari seluruh luas wilayah yang luasnya ±
1.786.01 Km².
Sebelum
terbentuknya menjadi Kabupaten berturut-turut mengalami perubahan bentuk :
Pertama :
Menurut sejarah pada mulanya Kabupaten Enrekang adalah merupakan suatu kerajaan
besar yang bernama MALEPONG BULAN, kemudian kerajaan ini bersifat MANURUNG yang
terdiri dari 7 kawasann yang lebih dikenal dengan ”PITU MASSENREMPULU” yaitu :
1. Endekan 2. Kassa 3. Batu Lappa 4. Duri 5. Maiwa 6. Letta 7. Baringin ( 7
Massenrempulu ) ini terjadi kira-kira dalam abad ke XIV dan kerajaan tersebut
berubah menjadi LIMA MASSENREMPULU yakni : 1. Endekan 2. Duri 3. Maiwa 4.
Kassa5. Batu Lappa ( Kira – kira abad ke XVII )
Karena Politik Devide At Impera Pemerintah Belanda memecah daerah ini dengan adanya Surat Keputusan dari Perintah Kerajaan Belanda (KORTE VERKLARING ) dimana kerajaan KASSA dan kerajaan BATU LAPPA dimasukkan ke SAWITTO. Ini terjadi ± Tahun 1905 ( abad XX ), sehingga untuk tetap pada keadaan LIMA MASSENREMPULU tersebut, maka kerajaan-kerajaan yang ada didalamnya dipecah sehingga menjadi :
1. Kerajaan itu pada Zaman penjajahan Belanda secara Admisnitrasi Belanda menjadi Landshcap
2.Tiap Landschap dipimpin oleh seorang Arung ( Zelftbesteur ) dan dibantu oleh SULEWATANG dan PABBICARA, ARUNG LILI tetapi kebijaksanaan tetap ditangan Belanda sebagai Kontroleur.
Karena Politik Devide At Impera Pemerintah Belanda memecah daerah ini dengan adanya Surat Keputusan dari Perintah Kerajaan Belanda (KORTE VERKLARING ) dimana kerajaan KASSA dan kerajaan BATU LAPPA dimasukkan ke SAWITTO. Ini terjadi ± Tahun 1905 ( abad XX ), sehingga untuk tetap pada keadaan LIMA MASSENREMPULU tersebut, maka kerajaan-kerajaan yang ada didalamnya dipecah sehingga menjadi :
1. Kerajaan itu pada Zaman penjajahan Belanda secara Admisnitrasi Belanda menjadi Landshcap
2.Tiap Landschap dipimpin oleh seorang Arung ( Zelftbesteur ) dan dibantu oleh SULEWATANG dan PABBICARA, ARUNG LILI tetapi kebijaksanaan tetap ditangan Belanda sebagai Kontroleur.
Budaya
MASSENREMPULU sebagai modal dasar pembangunan dalam melaksanakan otonomi daerah
untuk mewujudkan predikat atau gelar yang pernah diberikan oleh raja-raja dari
bugis yang diungkapkan dalam Bahasa Bugis bahwa :
” NAIYYA ENREKANG TANA RIGALLA, LIPU RIONGKO TANA RIABBUSUNGI ”
” NAIYYA TANAH MAKKA TANAH MAPACCING MASSENREMPULU ”
” NAIYYA TANAH ENREKANG TANAH SALAMA ”
Asal Mula Nama Enrekang
Dahulu kala di daerah Sulawesi Selatan hiduplah seorang raja makmur yang memiliki dua orang putra, putra pertama bernama Lajana dan putra kedua bernama Sangkala. Dua kakak beradik tersebut sangatlah bertolak belakang dalam perilakunya sehari-hari.
Lajana yang pemalas kesehariannya hanyalah makan dan tidur tanpa
pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat. Berbeda dengan kakaknya, Sangkala
sangat rajin dan patuh terhadap orang tuanya. Setiap hari Sangkala selalu
bekerja keras walau pun ia adalah anak seorang raja. Tidak sesuai dengan
kenyataan, nasib Lajana lebih baik dari Sangkala. Lajana lebih disayang oleh ayahnya,
seperti itulah yang terjadi.
Sangkala memiliki dua ekor hewan peliharaan yang sangat ia
sayangi. Sudah sewajarnya bila Sangkala sangat sayang terhadap peliharaannya
itu, sebab kedua hewan itu adalah pemberian dari ayahnya yang berupa seekor
ayam jantan dan seekor anjing. Suatu hari Sangkala diperintahkan oleh ayahnya
untuk menggembalakan hewan-hewan ternak ayahnya namun naas tak dapat dihindari,
seluruh hewan ternak tersebut hilang bak ditelan bumi. Akibat kelalaiannya itu,
dihukumlah Sangkala oleh ayahnya. Ia tidak boleh makan minum dan tidur di rumah
akibat kelalaiannya.
Berat hukuman yang diterima Sangkala, namun ia masih bisa sedikit
terhibur karena ia masih ditemani peliharaan kesayangannya selama hidup di luar
sana. Beberapa hari tidak makan tak membuat Sangkala bersedih ia tetap ceria
dan bersemangat, hal inilah yang membuat raja dan Lajana heran bukan kepalang.
Sewaktu-waktu raja dan Lajana secara diam-diam memerhatikan kehidupan Sangkala
di luar sana. Ternyata ayam kepunyaan Sangkala bukanlah ayam jantan
sembarangan, apa pun yang diminta oleh Sangkala pasti terwujud lewat ayam
jantannya yang bernama Ceppaga itu.
Suatu hari hujan deras disertai angin kencang menerpa Sangkala,
saat itu juga Sangkala menitahkan Ceppaga untuk menyelamatkan dirinya dari
terpaan angina dan hujan. Alhasil angina justru bertiup semakin kencang dan
hujan semakin deras, sehingga Sangkala dan anjingnya si Bolong tidak sadarkan
diri. Beberapa saat kemudian Sangkala dan Bolong mendengar sayup-sayup gemuruh
angina disertai kokokan ayam dan bisikan yang menyuruh Sangkala untuk segera
bangun. “Hai Sangkala kamu adalah anak yang baik maka sudah sepantasnya kamu
mendapatkan apa pun yang kamu mau dan segeralah buka kedua matamu”, Seperti
itulah suara yang didengar oleh Sangkala. Begitu ia membuka matanya, ia merasa
sangat takjub karena di depan matanya telah berdiri istana megah lengkap dengan
segala isinya. Mendengar kabar bahwa Sangkala telah berubah kehidupannya
seperti seorang raja, ayahnya dan Lajana segera mengatur rencana untuk merampas
apa yang telah dimiliki Sangkala.
Tibalah saat rencana dilaksanakan. Lajana menemui dan mengajak
adiknya pergi ke dalam hutan untuk mencari pohon besar yang akan dibuat peti
mati untuk ayah mereka karena ayah mereka sudah terlalu tua dan mungkin
sebentar lagi akan meninggal. Dalam perjalanannya Sangkala dan Lajana disertai
oleh Ceppaga dan Bolong, setelah berjalan selama beberapa hari di dalam hutan
akhirnya mereka menemukan pohon besar yang dapat dijadikan peti mati. Tak
berselang lama akhirnya rampunglah peti mati yang mereka buat, namun disinilah
akal licik Lajan dimulai. Ia meminta adiknya untuk mencoba ukuran peti mati
tersebut, tanpa rasa curiga Sangkala pun memasuki peti tersebut dan seketika
itu juga penutup peti mati langsung dirapatkan dan dipaku sehingga Sangkala tak
dapat keluar dari peti tersebut. Beberapa lama kemidian tewaslah Sangkala di
dalam peti tersebut. Tanpa pikir panjang lagi Lajana langsung menghanyutkan
peti mati itu ke sungai bersama dengan Ceppaga dan Bolong di atasnya, setelah
melakukan semua rencana jahatnya ia pun bergegas lari kembali ke dalam hutan.
Namun tak lama setelah itu Lajana pun meninggal di tengah hutan karena tak
makan dan minum sedikit pun.
Berbulan-bulan lamanya peti itu hanyut di sungai hingga pada akhirnya
peti itu tersangkut di akar pepohonan sungai.dan terdiam. Ceppaga dan Bolong
pun membuka peti mati yang berisi mayat tuannya itu, ketika telah terbuka
ternyata mayat Sangkala telah hancur dan menyisakan tiga belatung. Dua belatung
dimakan oleh Ceppaga dan Bolong, dan secara ajaib belatung yang satunya lagi
seketika berubah menjadi laron. Ternyata laron itu adalah jelmaan dari arwah
Sangkala, kemudian laron yang merupakan jelmaan Sangkala itu memberikan sebuah
nasehat kepada Ceppaga dan Bolong sekaligus memberikan ucapan terima kasih atas
kebaikan Ceppaga dan Bolong selama ia masih hidup.
Akhirnya setelah memberi ucapan perpisahan, laron tersebut terbang
dari peti mati untuk naik menuju ke daratan. Sampai sekarang daratan tempat
laron itu singgah diberi nama Enrekang, yang dalam Bahasa Bugis Duri artinya
adalah tempat naik. Begitulah asal mula dari nama sebuah kabupaten di daerah
Sulawesi Selatan, Enrekang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar